Selasa, 27 Maret 2018

SIFAT PERBUATAN TERCELA




SIFAT PERBUATAN TERCELA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Tarbawi
yang diampu oleh H. Azhar Amrullah Hafizh, Lc., M.Th.I






Disusun Oleh :
Nurhalimah Irawan (18201501040142)
Nur Hidayati           (18201501040145)



PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
            Alhamdulillah wasyukurillah, segala puji  dan syukur kami persembahkan kepada tuhan sang pencipta semesta, karena dengan limpahan rahmat dan hidayahnya, kami senantiasa berada dalam genggamannya dengan penuh kepasrahan. Sholawat serta salam tidak lupa kami haturkan kepada sang pencerah alam semesta dengan cahaya keimanan. Yakni dengan kehadiran baginda Nabi Muhammad SAW yang membawa cahaya dari langit untuk bumi yang awalnya kelabu.
            Terimakasih kami ucapkan kepada kedua orang tua kami yang selalu memberikan semangat kepada kami dengan doa dan kasih kami. Tidak lupa pula kami ucapkan terimaksih kepada dosen pengampu, H. Azhar Amrullah Hafizh, Lc., M.Th.I yang telah bersedia membimbing kami, memotivasi kami dalam menyelesaikan makalah ini.
            Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita  mengenai “Sifat Perbuatan Tercela”. Kami sadar jika makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami mohon dengan sangat hormat kepada H. Azhar Amrullah Hafizh, Lc., M.Th.I untuk bersedia mengoreksi makalah yang kami susun ini.
Harapan Kami semoga makalah “Sifat Perbuatan Tercela” yang kami susun ini menjadi suatu ilmu yang bermanfaat. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Pamekasan, 06 Mei 2016

                  Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan.......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Biografi Perawi Hadits................................................................. 2
B.     Hadits dan Artinya....................................................................... 3
C.     Pembahasan Hadits...................................................................... 4
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................... 9
B.     Saran............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 10


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dunia sekarang sedang dilanda dengan beberapa kelalaian, yang di dalamnya perhatian manusia sepenuhnya difokuskan dan disita oleh ragam kesibukan, keinginan, dan hawa nafsu, guna mengejar kepentingan dan kebutuhan duniawi, yang semakin meningkat dan tak mengenal kepuasan. Nilai-nilai moral dan spiritual, seperti keikhlasan, kebenaran, keadilan seakan-akan dengan sengaja dilupakan. Hal ini disebabkan karena dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu kekuatan/dorongan untuk berbuat baik atau terpuji dan kekuatan/dorongan untuk berbuat yang tidak baik atau tercela. Kekuatan untuk berbuat baik/terpuji akan dapat menimbulkan sikap-sikap terpuji, untuk berbuat buruk/tercela biasanya dipengaruhi oleh nafsu dan setan.
Maka penulis akan membahas tentang sifat perbuatan tercela diantaranya yaitu Larangan Menyakiti (Berbuat Dzalim) dan Larangan Memata-matai, dimana penulis membuat makalah ini dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dari sifat tercela tersebut agar manusia terutama umat muslim tidak melakukannya.

B.       Rumusan masalah
1.    Biografi Perawi Hadits.
2.    Hadits beserta artinya.
3.    Penjelasan Hadits.

C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui biografi perawi hadits.
2.    Untuk mengetahui arti hadits tersebut.
3.    Untuk mengetahui penjelasan atau makna dari hadits tersebut.



                                                      BAB II                     
PEMBAHASAN

A.  Biografi Perawi Hadits
1.    Imam Muslim
Imam Muslim lahir di Nisabur pada tahun 817 M dan meninggal tahun 875 M di kota yang sama. Nama lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi. Dalam rawi hadits, Bukhari dan Muslim sering disebut Syaikhoni (Dua Syaih).
Sejak usia 14 tahun, ia mendengarkan hadits-hadits dari syaik-syaikh di negerinya. Setelah itu, ia pergi ke Hijaz, Irak, Suriah, Mesir dan negeri-negeri lain untuk memperdalam ilmunya. Secara umum, guru-guru Imam Muslim sama dengan guru-guru Imam al-Bukhari. Akan tetapi, Imam Muslim pernah berguru kepada Imam al-Bukhari ketika ia datang ke Nisabur.
Karyanya yang terbesar adalah al-Jami’ as-Sahih Muslim yang lebih dikenal dengan sebutan Sahih Muslim. Hadits-hadits yang dimuat dalam Sahih Muslim adalah hadits yang telah disepakati dan disaring dari 300.000 hadits yang diketahuinya. Untuk memilih hadits itu, Imam Muslim menghabiskan waktu selama 15 tahun. Para ulama menempatkan kitab Sahih Muslim pada peringkat kedua sesudah Sahih Bukhari.[1]

2.    Abu Dawud
Abu Dawud lahir di Baghdad pada tahun 817 M dan wafat di Basra pada tahun 888 M. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran al-Azdi as-Sijistani. Sampai umur 21 tahun ia menetap di Baghdad. Setelah itu, ia melakukan perjalanan panjang untuk mempelajari hadits diberbagai tempat, seperti Hijaz, Suriah, Mesir, Khurasan, Ray (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, dan Basra. Dalam perjalan itu, ia berguru kepada para pakar-pakar ilmu hadits, seperti Ibnu Amr ad-Dasir, Abul Walid at-Tayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Imam Hanbali.
Sekembalinya dari pengembaraan tersebut, Abu Dawud menulis sebuah kitab hadits, yaitu Sunan Abu Dawud. Para ulama memasukan kitab tersebut ke dalam kutubus sitah atau enam hadits utama. Kitab hadits tersebut memuat 4.000 hadis dari sekitar 500.000 hadits yang dikumpulkannya. Kitab Sunan Abu Dawud merupakan yang paling populer diantara karangan-karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul. Tidak kurang dari 13 judul kitab telah ditulis untuk mengulas karya tersebut dalam bentuk syarh (komentar), mukhtasar (ringkasan), dan  tahzib (revisi).[2]

3.    Hadits Beserta Artinya
1.    Riyadus Salihin, hadits nomor 1566
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم: مَنْ اَحَبَّ اَنْ يُزَحْرحَ عَنِ النَّارِ, وَيَدْخُلَ الْجَنَّةِ, فلتأْتِهِ منِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ, وَلْيَأْتِ اِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ اَنْ يُؤْتى اِلَيْهِ. (رواه مسلم)[3]
Artinya :
Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: Barangsiapa yang suka jikalau dijauhkan dari neraka dan dimasukkan dalam syurga, maka hendaklah ia di datangi oleh kematiannya dan di waktu itu ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir - yakni hari kiamat, juga hendaklah ia men-datangkan sesuatu kepada seluruh manusia yang sekiranya ia sendiri suka kalau sesuatu tadi didatangkan pada dirinya sendiri - yakni berbuat sesuatu kepada orang lain yang ia suka kalau hal itu diperlakukan pula atas dirinya sendiri." (H.R. Imam Muslim)

2.    Riyadus Salihin, hadits nomor 1572
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدِرَضِيَ عَنْهُ أَنَّهُ أُتِيَ بِرَجُلٍ فَقِيْلَ لَهُ : هَذَا فُلاَنٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمراً، فَقَلَ : إِنَّا قَدْنُهِينَاعَنِ التَّجَسُّسِ، وَلَكِنْ إِن يَظهَرْلَنَا شَيء، نَأْخُذْبِهِ. حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحيحٌ. رواه أبوداودبإِ سْنادعَلى شَرْطِ البخاريّ ومسلم.[4]

Artinya:
Dari Ibnu Mas'ud r.a. bahwasanya ia didatangi oleh kawan-kawannya dengan membawa seorang lelaki. Kepadanya dikatakan: "Ini adalah si Fulan yang janggutnya meneteskan arak." Ibnu Mas'ud lalu berkata: "Sesungguhnya kita semua itu dilarang untuk memata-matai, tetapi jikalau ada sesuatu bukti yang nyata untuk kita gunakan sebagai pegangan, maka kita akan meneterapkan hukuman padanya." Hadis shahih  (H.R. Imam Abu Dawud dengan isnad menurut syaratnya Imam Bukhari dan Imam Muslim).

3.    Penjelasan Hadits
1.    Riyadus Salihin, hadits nomor 1566 menjelaskan tentang “Larangan menyakiti (Berbuat Dzalim)”.
Nabi Muhammad SAW senantiasa melarang ummat manusia agar tidak berbuat dzalim antar sesama mereka sebab perbuatan dzalim diharamkan dan akibatnya amat fatal baik di dunia mau pun di akhirat. Dan karena Hari Kiamat itu merupakan suatu hari pengadilan semesta untuk menetapkan pahala dan dosa umat manusia seluruhnya, maka Rasulullah saw senantiasa menampilkan potret si dzalim dengan segala keburukannya.
a.    Pengertian Dzalim
Menurut ajaran islam, dzalim (aniaya) berasal dari kata dzolama-yadlimu-dzulman yang artinya aniaya.  Dzalim (Arab: ظلم, Dzalim) adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya. Orang yang berbuat dzalim disebut dzalimin. Lawan kata dzalim adalah adil.
Aniaya (dzalim) ialah sikap dan berperilaku tidak adil. Aniaya atau Dzalim yaitu suatu tindakan yang tidak menusiawi yang bertentangan dengan hak sesama manusia. Aniaya (zaldim) termasuk sifat tercela yang hukumnya haram dan akan mendatangkat kerugian (bencana) di dunia maupun akhirat.
b.   Macam-Macam Dzolim
1)   Kedzaliman terhadap Allah (Syirik)
Kedzaliman terhadap Allah SWT, yaitu tidak adanya pengakuan yang jujur, keimanan yang benar, bahwasanya kita manusia telah diciptakan Allah SWT untuk menjadi “Abdullah” (hamba Allah) dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan sebagai “Kholifatullah” (Khalifah Allah) yakni pengatur, pengelola dan pemakmur alam jagadraya ini dengan segala ktentuan dan aturan yang telah Allah SWT tetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah-Nya. Apabila kita tidak mengikuti ketentuan tersebut berarti kita telah tergolong kepada orang yang telah berbuat aniaya (dzalim) terhadap Allah SWT.
2)   Kedzaliman Terhadap Diri Sendiri
Kedzaliman membenani diri diluar batas kemampuannya. Termasuk membebaninya  dengan ibadah yang berlebihan. Padahal Allah tidak pernah membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Misalnya membiarkan diri sendiri dalam keadaan bodoh dan miskin karena malas, meminum minuman keras, menyalah gunakan obat-obatan terlarang (narkoba), menyiksa diri sendiri dan bunuh diri (sebagai akibat dari tidak mensyukuri nikmat pemberian Allah SWT).
3)   Kedzaliman Terhadap Sesama Manusia
Kedzaliman terhadap sesama manusia akan berdampak pada rusaknya seluruh masyarakat. Maka setiap orang ber kewajiban mencegah kedzaliman dimasyarakat. Seperti ghibah (mengumpat), naminah (mengadu domba), fitnah, mencuri, merampok, melakukan penyiksaan dn melakukan pembunuhan, berbuat korupsi dan manipulasi.
4)   Kedzaliman Terhadap Alam (Lingkungan)
Berbuat zalim terhadap alam adalah merusak kelestarian alam, mencemari lingkungan, menebang pepohonan secara liar, menangkap dan membunuh binatang tanpa mengindahkan aturan, sehingga akibat dari perbuatan itu dapat mrugikan alam dan merugikan masyarakat.
5)   Kedzaliman Terhadap Binatang
Kedzaliman Terhadap binatang, misalnya menjadikan binatang sebagai sasaran latihan memanah atau menembak, menelantarkan binatang peliharaan, dan menyembelih hewan dengan senjata yang tumpul.
c.    Bahaya dan Keburukan Perbuatan Dzalim
1)   Hidupnya tidak akan disenangi, melainkan dijauhi bahkan dibenci masyarakat.
2)   Hidupnya tidak akan tenang, karena dibayangi rasa takut.
3)   Mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan aniaya yang dilakukannya.
4)   Mencemarkan nama baik dirinya dan keluarganya.
5)   Mendapat siksa dengan dicampakkan kedalam api neraka.
6)   Dalam kehidupannya tidak akan mendapat pelindung atau penolong.
d.   Upaya untuk Menghindari diri dari Perbuatan Dzalim.
1)   Kesadaran akan eksistensi diri untuk selalu berbuat baik, ramah, dan sopan santun terhadap semua makhluk Allah.
2)   Berusaha menegakkan keadilan dan kebaikan terhadap diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
3)   Meningkatkan kehati-hatian bahwa bentuk perselisihan, permusuhan, kedengkian, dan perusakan terhadap sesama manusia dan alam semesta pada akhirnya dapat merugikan diri sendiri.
4)   Meningkatkan kesadaran bahwa manusia itu tidak dapat berdiri sendiri, memerlukan bantuan dari orang lain dan bantuan dari alam.
5)   Senantiasa memohon kepada Allah swt supaya dijauhkan dari sifat-sifat demikian.[5]

Intinya pesan dari hadits ini adalah jika seseorang ingin mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta ingin terhindar dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, hendaknya dia berbuat baik terhadap orang lain atau tidak menyakiti (berbuat dzalim). Yaitu dengan melakukan sesuatu apabila itu terjadi padanya dia akan merasa senang.

2.    Riyadus Salihin, hadits nomor 1572 mejelaskan tentang “Larangan meyelidiki kesalahan orang serta mendengarkan pada pembicaraan yang orang ini benci kalau ia mendengarnya”.
Larangan memata-matai di sini adalah menyelidiki atau memata-matai kekurangan dan aib orang lain, baik melalui pendengarannya maupun sengaja menyelidikinya, terutama hal-hal tersembunyi yang tidak pantas untuk diketahuinya, selain orang itu sendiri dan Allah SWT. Namun demikian, diperbolehkan menyelidiki orang lain demi kemaslahatan masyarakat. Misalnya, menyelidiki/memata-matai orang yang akan mencuri atau membunuh orang lain. Perbuatan seperti itu diperbolehkan. Bahkan, menyelidiki orang yang jelas-jelas akan berbuat jahat berarti telah membantu menyelamatkan orang lain dari bahaya yang akan menimpanya.
Tajassus dinamakan dengan memata-matai (spionase) atau mengorek-orek berita. Sehingga dalam lingkungan pesantren kata itu sering kali digunakan dan menyebutnya sebagai ‘jaasuus’ atau mata-mata.
Namun dalam kamus literatur bahasa Arab, misalnya kamus Lisan al-‘Arab karangan Imam Ibnu Manzhur, tajassus berarti “bahatsa ‘anhu wa fahasha” yaitu mencari berita atau menyelidikinya.
Dari pengertian tersebut, maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menyelidikinya atau memata-matai. Dan sikap tajassus ini termasuk sikap yang dilarang dalam Alquran maupun hadis.
a.    Nasihat Bagi Yang Suka Mencari Kesalahan Orang Lain
Cukuplah buat kita sebuah untaian perkataan seorang imam yaitu Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi berkata dalam sebuah kitabnya yang dikutip oleh Syekh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr dalam tulisannya sebagai berikut, ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya.”[6]
Pesan moral yang ada di hadits tersebut adalah kita tidak boleh memata-matai orang, dalam artian kita tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain. Namun jika kita ingin menjatuhkan suatu hukum terhadap seseorang pergunakan saja bukti yang ada, dengan artian tidak perlu mencari-cari kesalahan yang lain.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
   Dalam ajaran islam, Dzalim merupakan perilaku tercela yang harus dihindari setiap Mu’min. Karena sesungguhnya perbuatan dzalim dapat merugikan pelakunya dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Agar setiap Mu’min tidak terjebak pada perbuatan dzalim maka harus memahami salah satu sifat tercela ini (dzalim), kemudian secara konsisten menjaga diri agar tidak terjerumus pada perbuatan dzalim.
Sebagai umat muslim kita tidak boleh memata-matai orang (Tajassus), dalam artian kita tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain. Namun jika kita ingin menjatuhkan suatu hukum terhadap seseorang pergunakan saja bukti yang ada, dengan artian tidak perlu mencari-cari kesalahan yang lain. Karena sikap tajassus ini termasuk sikap yang dilarang dalam Alquran maupun hadis.
Setiap perbuatan tercela itu akan menimbulkan banyak mudhorotnya, jadi jauhilah perbuatan-perbuatan yang tercela sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang baik dihadapan manusia dan Allah SWT.

B.  Saran
1.      Menjauhi sifat perbuatan tercela agar bahagia hidup di dunia dan di akhirat.
2.      Sesama umat Islam kita tidak boleh meyakiti atau meganiaya (Dzalim) terhadap saudara kita sendiri.
3.      Kita tidak boleh mencari-cari kesalahan seseorang apalagi sampai membuatnya sedih.



DAFTAR PUSTAKA

Darsono dan Ibrahim, T. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 2 untuk Kelas VII Madrasah Tsanawiyah. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Solo. 2009.
Nawawi, Imam. Riyad Al-Salihin. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010.
Blogspot.co.id/2011/08/dzalim.html


[1] Darsono dan T. Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 2 untuk Kelas VII Madrasah Tsanawiyah, (PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Solo , 2009).
[2] Ibid.
[3] Imam Nawawi, Riyad Al-Salihin, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010), hlm.320
[4] Ibid., hlm.322
[5] blogspot.co.id/2011/08/dzalim.html
[6] https://muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENDEKATAN MANAJEMEN PESERTA DIDIK

PENDEKATAN MANAJEMEN PESERTA DIDIK MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Manajemen Peserta Didik yang diampu Bapak Abdul Aziz,...