SIFAT PERBUATAN TERCELA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Tarbawi
yang
diampu oleh H.
Azhar Amrullah Hafizh, Lc., M.Th.I
Disusun Oleh
:
Nurhalimah Irawan (18201501040142)
Nur
Hidayati (18201501040145)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah
wasyukurillah, segala puji dan
syukur kami persembahkan kepada tuhan sang pencipta semesta, karena dengan limpahan
rahmat dan hidayahnya, kami senantiasa berada dalam genggamannya dengan penuh
kepasrahan. Sholawat serta salam tidak lupa kami haturkan kepada sang pencerah alam
semesta dengan cahaya keimanan. Yakni dengan kehadiran baginda Nabi Muhammad
SAW yang membawa cahaya dari langit untuk bumi yang awalnya kelabu.
Terimakasih
kami
ucapkan kepada kedua orang tua kami
yang selalu memberikan semangat kepada kami dengan doa dan kasih kami. Tidak
lupa pula kami ucapkan terimaksih kepada dosen pengampu, H. Azhar Amrullah
Hafizh, Lc., M.Th.I yang telah bersedia membimbing kami, memotivasi kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai
“Sifat Perbuatan Tercela”. Kami sadar jika makalah yang kami susun ini masih
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami mohon dengan sangat hormat kepada
H. Azhar Amrullah Hafizh, Lc., M.Th.I untuk bersedia mengoreksi makalah yang
kami susun ini.
Harapan Kami semoga makalah
“Sifat Perbuatan Tercela” yang kami susun ini menjadi suatu ilmu yang
bermanfaat. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
06 Mei 2016
Penulis,
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL...................................................................................
i
KATA
PENGANTAR.....................................................................................
ii
DAFTAR
ISI...................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.............................................................................
1
B. Rumusan
Masalah........................................................................
1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................
1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Biografi Perawi Hadits................................................................. 2
B. Hadits dan Artinya....................................................................... 3
C. Pembahasan Hadits...................................................................... 4
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................
9
B. Saran.............................................................................................
9
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................
10
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Dunia sekarang
sedang dilanda dengan beberapa kelalaian, yang di dalamnya perhatian manusia
sepenuhnya difokuskan dan disita oleh ragam kesibukan, keinginan, dan hawa
nafsu, guna mengejar kepentingan dan kebutuhan duniawi, yang semakin meningkat
dan tak mengenal kepuasan. Nilai-nilai moral dan spiritual, seperti keikhlasan,
kebenaran, keadilan seakan-akan dengan sengaja dilupakan. Hal ini disebabkan
karena dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang saling bertentangan satu
sama lain, yaitu kekuatan/dorongan untuk berbuat baik atau terpuji dan
kekuatan/dorongan untuk berbuat yang tidak baik atau tercela. Kekuatan untuk
berbuat baik/terpuji akan dapat menimbulkan sikap-sikap terpuji, untuk berbuat
buruk/tercela biasanya dipengaruhi oleh nafsu dan setan.
Maka penulis
akan membahas tentang sifat perbuatan tercela diantaranya yaitu Larangan
Menyakiti (Berbuat Dzalim) dan Larangan Memata-matai, dimana penulis membuat
makalah ini dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dari sifat tercela
tersebut agar manusia terutama umat muslim tidak melakukannya.
B. Rumusan
masalah
1. Biografi
Perawi Hadits.
2. Hadits
beserta artinya.
3. Penjelasan
Hadits.
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui biografi perawi hadits.
2. Untuk
mengetahui arti hadits tersebut.
3. Untuk
mengetahui penjelasan atau makna dari hadits tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Perawi Hadits
1. Imam
Muslim
Imam Muslim
lahir di Nisabur pada tahun 817 M dan meninggal tahun 875 M di kota yang sama.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi
an-Nisaburi. Dalam rawi hadits, Bukhari dan Muslim sering disebut Syaikhoni
(Dua Syaih).
Sejak usia 14
tahun, ia mendengarkan hadits-hadits dari syaik-syaikh di negerinya. Setelah
itu, ia pergi ke Hijaz, Irak, Suriah, Mesir dan negeri-negeri lain untuk
memperdalam ilmunya. Secara umum, guru-guru Imam Muslim sama dengan guru-guru
Imam al-Bukhari. Akan tetapi, Imam Muslim pernah berguru kepada Imam al-Bukhari
ketika ia datang ke Nisabur.
Karyanya yang
terbesar adalah al-Jami’ as-Sahih Muslim yang lebih dikenal dengan sebutan Sahih Muslim.
Hadits-hadits yang dimuat dalam Sahih Muslim adalah hadits yang telah
disepakati dan disaring dari 300.000 hadits yang diketahuinya. Untuk memilih
hadits itu, Imam Muslim menghabiskan waktu selama 15 tahun. Para ulama
menempatkan kitab Sahih Muslim pada peringkat kedua sesudah Sahih Bukhari.[1]
2. Abu Dawud
Abu
Dawud lahir di Baghdad pada tahun 817 M dan wafat di Basra pada tahun 888 M.
Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir
bin Syidad bin Amr bin Amran al-Azdi as-Sijistani. Sampai umur 21 tahun ia
menetap di Baghdad. Setelah itu, ia melakukan perjalanan panjang untuk
mempelajari hadits diberbagai tempat, seperti Hijaz, Suriah, Mesir, Khurasan,
Ray (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, dan Basra. Dalam perjalan itu, ia berguru
kepada para pakar-pakar ilmu hadits, seperti Ibnu Amr ad-Dasir, Abul Walid
at-Tayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Imam Hanbali.
Sekembalinya
dari pengembaraan tersebut, Abu Dawud menulis sebuah kitab hadits, yaitu Sunan
Abu Dawud. Para ulama memasukan kitab tersebut ke dalam kutubus sitah
atau enam hadits utama. Kitab hadits tersebut memuat 4.000 hadis dari sekitar
500.000 hadits yang dikumpulkannya. Kitab Sunan Abu Dawud merupakan yang paling
populer diantara karangan-karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul. Tidak
kurang dari 13 judul kitab telah ditulis untuk mengulas karya tersebut dalam
bentuk syarh (komentar), mukhtasar (ringkasan), dan tahzib
(revisi).[2]
3. Hadits Beserta Artinya
1. Riyadus
Salihin, hadits nomor 1566
وَعَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم: مَنْ اَحَبَّ اَنْ يُزَحْرحَ
عَنِ النَّارِ, وَيَدْخُلَ الْجَنَّةِ, فلتأْتِهِ منِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ, وَلْيَأْتِ اِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ اَنْ
يُؤْتى اِلَيْهِ. (رواه مسلم)[3]
Artinya
:
Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma pula,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: Barangsiapa yang suka jikalau
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan dalam syurga, maka hendaklah ia di datangi
oleh kematiannya dan di waktu itu ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan
hari akhir - yakni hari kiamat, juga hendaklah ia men-datangkan sesuatu kepada
seluruh manusia yang sekiranya ia sendiri suka kalau sesuatu tadi didatangkan
pada dirinya sendiri - yakni berbuat sesuatu kepada orang lain yang ia suka
kalau hal itu diperlakukan pula atas dirinya sendiri." (H.R. Imam Muslim)
2. Riyadus
Salihin, hadits nomor 1572
وَعَنِ ابْنِ
مَسْعُوْدِرَضِيَ عَنْهُ أَنَّهُ أُتِيَ بِرَجُلٍ فَقِيْلَ لَهُ : هَذَا فُلاَنٌ
تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمراً، فَقَلَ : إِنَّا قَدْنُهِينَاعَنِ التَّجَسُّسِ،
وَلَكِنْ إِن يَظهَرْلَنَا شَيء، نَأْخُذْبِهِ. حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحيحٌ. رواه
أبوداودبإِ سْنادعَلى شَرْطِ البخاريّ ومسلم.[4]
Artinya:
Dari
Ibnu Mas'ud r.a. bahwasanya ia didatangi oleh kawan-kawannya dengan membawa
seorang lelaki. Kepadanya dikatakan: "Ini adalah si Fulan yang janggutnya
meneteskan arak." Ibnu Mas'ud lalu berkata: "Sesungguhnya kita semua
itu dilarang untuk memata-matai, tetapi jikalau ada sesuatu bukti yang nyata
untuk kita gunakan sebagai pegangan, maka kita akan meneterapkan hukuman
padanya." Hadis shahih (H.R. Imam
Abu Dawud dengan isnad menurut syaratnya Imam Bukhari dan Imam Muslim).
3. Penjelasan
Hadits
1. Riyadus
Salihin, hadits nomor 1566 menjelaskan tentang “Larangan menyakiti (Berbuat Dzalim)”.
Nabi Muhammad SAW senantiasa melarang ummat manusia agar tidak
berbuat dzalim antar sesama mereka sebab perbuatan dzalim diharamkan dan
akibatnya amat fatal baik di dunia mau pun di akhirat. Dan karena Hari Kiamat
itu merupakan suatu hari pengadilan semesta untuk menetapkan pahala dan dosa
umat manusia seluruhnya, maka Rasulullah saw senantiasa menampilkan potret si dzalim
dengan segala keburukannya.
a.
Pengertian
Dzalim
Menurut ajaran islam, dzalim (aniaya)
berasal dari kata dzolama-yadlimu-dzulman yang artinya aniaya. Dzalim (Arab: ظلم, Dzalim)
adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya. Orang yang berbuat dzalim
disebut dzalimin. Lawan kata dzalim adalah adil.
Aniaya (dzalim) ialah sikap dan berperilaku tidak adil. Aniaya atau
Dzalim yaitu suatu tindakan yang tidak menusiawi yang bertentangan dengan hak
sesama manusia. Aniaya (zaldim) termasuk sifat tercela yang hukumnya haram dan
akan mendatangkat kerugian (bencana) di dunia maupun akhirat.
b. Macam-Macam
Dzolim
1)
Kedzaliman terhadap Allah (Syirik)
Kedzaliman terhadap Allah SWT, yaitu tidak adanya
pengakuan yang jujur, keimanan yang benar, bahwasanya kita manusia telah
diciptakan Allah SWT untuk menjadi “Abdullah” (hamba Allah) dengan tidak
menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan sebagai “Kholifatullah” (Khalifah
Allah) yakni pengatur, pengelola dan pemakmur alam jagadraya ini dengan segala
ktentuan dan aturan yang telah Allah SWT tetapkan dalam Al-Quran dan
Sunnah-Nya. Apabila kita tidak mengikuti ketentuan tersebut berarti kita telah
tergolong kepada orang yang telah berbuat aniaya (dzalim) terhadap Allah SWT.
2)
Kedzaliman
Terhadap Diri Sendiri
Kedzaliman membenani
diri diluar batas kemampuannya. Termasuk membebaninya dengan ibadah yang
berlebihan. Padahal Allah tidak pernah membebani hamba-Nya melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.
Misalnya membiarkan
diri sendiri dalam keadaan bodoh dan miskin karena malas, meminum minuman
keras, menyalah gunakan obat-obatan terlarang (narkoba), menyiksa diri sendiri
dan bunuh diri (sebagai akibat dari tidak mensyukuri nikmat pemberian Allah
SWT).
3)
Kedzaliman Terhadap Sesama Manusia
Kedzaliman terhadap sesama manusia
akan berdampak pada rusaknya seluruh masyarakat. Maka setiap orang ber
kewajiban mencegah kedzaliman dimasyarakat. Seperti ghibah (mengumpat), naminah
(mengadu domba), fitnah, mencuri, merampok, melakukan penyiksaan dn melakukan
pembunuhan, berbuat korupsi dan manipulasi.
4) Kedzaliman Terhadap Alam (Lingkungan)
Berbuat zalim terhadap alam adalah
merusak kelestarian alam, mencemari lingkungan, menebang pepohonan secara liar,
menangkap dan membunuh binatang tanpa mengindahkan aturan, sehingga akibat dari
perbuatan itu dapat mrugikan alam dan merugikan masyarakat.
5)
Kedzaliman Terhadap
Binatang
Kedzaliman Terhadap binatang,
misalnya menjadikan binatang sebagai sasaran latihan memanah atau menembak,
menelantarkan binatang peliharaan, dan menyembelih hewan dengan senjata yang tumpul.
c.
Bahaya dan Keburukan Perbuatan
Dzalim
1)
Hidupnya tidak
akan disenangi, melainkan dijauhi bahkan dibenci masyarakat.
2)
Hidupnya tidak
akan tenang, karena dibayangi rasa takut.
3)
Mendapatkan
hukuman yang setimpal dengan perbuatan aniaya yang dilakukannya.
4)
Mencemarkan
nama baik dirinya dan keluarganya.
5)
Mendapat siksa
dengan dicampakkan kedalam api neraka.
6)
Dalam
kehidupannya tidak akan mendapat pelindung atau penolong.
d.
Upaya untuk
Menghindari diri dari Perbuatan Dzalim.
1)
Kesadaran akan
eksistensi diri untuk selalu berbuat baik, ramah, dan sopan santun terhadap semua
makhluk Allah.
2)
Berusaha menegakkan keadilan dan kebaikan terhadap
diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
3)
Meningkatkan kehati-hatian bahwa bentuk perselisihan,
permusuhan, kedengkian, dan perusakan terhadap sesama manusia dan alam semesta
pada akhirnya dapat merugikan diri sendiri.
4)
Meningkatkan kesadaran bahwa manusia itu tidak dapat
berdiri sendiri, memerlukan bantuan dari orang lain dan bantuan dari alam.
5)
Senantiasa
memohon kepada Allah swt supaya dijauhkan dari sifat-sifat demikian.[5]
Intinya pesan dari hadits ini adalah jika seseorang
ingin mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta ingin
terhindar dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, hendaknya dia berbuat baik
terhadap orang lain atau tidak menyakiti (berbuat dzalim). Yaitu dengan
melakukan sesuatu apabila itu terjadi padanya dia akan merasa senang.
2.
Riyadus Salihin, hadits nomor 1572 mejelaskan
tentang “Larangan meyelidiki kesalahan orang serta mendengarkan pada
pembicaraan yang orang ini benci kalau ia mendengarnya”.
Larangan memata-matai di sini adalah menyelidiki atau memata-matai
kekurangan dan aib orang lain, baik melalui pendengarannya maupun sengaja
menyelidikinya, terutama hal-hal tersembunyi yang tidak pantas untuk
diketahuinya, selain orang itu sendiri dan Allah SWT. Namun demikian,
diperbolehkan menyelidiki orang lain demi kemaslahatan masyarakat. Misalnya,
menyelidiki/memata-matai orang yang akan mencuri atau membunuh orang lain.
Perbuatan seperti itu diperbolehkan. Bahkan, menyelidiki orang yang jelas-jelas
akan berbuat jahat berarti telah membantu menyelamatkan orang lain dari bahaya
yang akan menimpanya.
Tajassus dinamakan dengan memata-matai (spionase) atau
mengorek-orek berita. Sehingga dalam lingkungan pesantren kata itu sering kali
digunakan dan menyebutnya sebagai ‘jaasuus’ atau mata-mata.
Namun dalam kamus literatur bahasa Arab, misalnya kamus Lisan
al-‘Arab karangan Imam Ibnu Manzhur, tajassus berarti “bahatsa
‘anhu wa fahasha” yaitu mencari berita atau menyelidikinya.
Dari pengertian tersebut, maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa tajassus
adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menyelidikinya atau
memata-matai. Dan sikap tajassus ini termasuk sikap yang dilarang dalam Alquran
maupun hadis.
a. Nasihat Bagi Yang Suka Mencari
Kesalahan Orang Lain
Cukuplah buat kita sebuah untaian
perkataan seorang imam yaitu Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi berkata
dalam sebuah kitabnya yang dikutip oleh Syekh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad
al-Badr dalam tulisannya sebagai berikut, ”Orang yang berakal wajib mencari
keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa
sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk
memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka
hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat
kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat
kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa
sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri,
maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya
meninggalkan kejelekan dirinya.”[6]
Pesan moral yang ada di hadits tersebut adalah kita
tidak boleh memata-matai orang, dalam artian kita tidak boleh mencari-cari
kesalahan orang lain. Namun jika kita ingin menjatuhkan suatu hukum terhadap
seseorang pergunakan saja bukti yang ada, dengan artian tidak perlu
mencari-cari kesalahan yang lain.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam ajaran
islam, Dzalim merupakan perilaku tercela yang harus dihindari setiap Mu’min.
Karena sesungguhnya perbuatan dzalim dapat merugikan pelakunya dalam kehidupan
dunia maupun akhirat. Agar setiap Mu’min tidak terjebak pada perbuatan dzalim
maka harus memahami salah satu sifat tercela ini (dzalim), kemudian secara
konsisten menjaga diri agar tidak terjerumus pada perbuatan dzalim.
Sebagai
umat muslim kita tidak boleh memata-matai orang (Tajassus), dalam artian kita
tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain. Namun jika kita ingin
menjatuhkan suatu hukum terhadap seseorang pergunakan saja bukti yang ada,
dengan artian tidak perlu mencari-cari kesalahan yang lain. Karena sikap tajassus ini termasuk sikap yang dilarang dalam Alquran
maupun hadis.
Setiap perbuatan tercela itu akan menimbulkan banyak
mudhorotnya, jadi jauhilah perbuatan-perbuatan yang tercela sehingga kita dapat
menjadi orang-orang yang baik dihadapan manusia dan Allah SWT.
B. Saran
1.
Menjauhi sifat perbuatan
tercela agar bahagia hidup di dunia dan di akhirat.
2.
Sesama umat Islam kita tidak
boleh meyakiti atau meganiaya (Dzalim) terhadap saudara kita sendiri.
3.
Kita tidak boleh mencari-cari
kesalahan seseorang apalagi sampai membuatnya sedih.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono dan Ibrahim, T. Tonggak Sejarah
Kebudayaan Islam Jilid 2 untuk Kelas VII Madrasah Tsanawiyah. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri Solo. 2009.
Nawawi,
Imam. Riyad Al-Salihin. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010.
Blogspot.co.id/2011/08/dzalim.html
[1] Darsono dan T. Ibrahim, Tonggak Sejarah
Kebudayaan Islam Jilid 2 untuk Kelas VII Madrasah Tsanawiyah, (PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri Solo , 2009).
[2] Ibid.
[3] Imam Nawawi, Riyad Al-Salihin, (Lebanon:
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010), hlm.320
[4] Ibid., hlm.322
[5] blogspot.co.id/2011/08/dzalim.html
[6] https://muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar